Perempuan berlakon dalam sandiwara dunia, terjebak dalam asmara berbunga angkara. Merahnya kemarahan mengalahkan rona mawar digenggaman, hingga sang bunga luruh gugur berjatuhan. Tak tersisa harumnya mawar, tak tersisa segarnya bunga, yang ada hanyalah sepotong ranting kering berduri.
Perempuan menyesali mengapa kelopak mawar mengering? Padahal, embun pagi belum hendak pergi! Perempuan meremas duri kekecewaan, dan biarkan darah membasuh kepiluan hatinya. Merahnya air mata meratapi kehormatan cinta yang hilang. Perempuan kini sendiri hampir tidak peduli bahwa ia pernah punya mimpi.
Perempuan melangkah pergi menyusuri penggalan sunyi. Berbekal sebait do’a dalam lembar kepasrahan. Biarkan kegetiran tertinggal diantara jejak suram masa lalu. Perempuan berpaling dari hati yang kering, naluri menuntunnya temukan putik mawar yang harumkan rongga jiwanya. Tetesan do’a sirami putik hingga mekar dan mawar tampakan keindahannya.
Perempuan bersyukur padang hatinya tak lagi sepi, ada sebait syair menemani ada serumpun mawar yang bernyanyi. Mawar menggoda, mawar menebar pesona, perempuan tak pernah lengah menjaga. Hingga ia menyadari, harum sang bunga mengundang kumbang bertandang, merah sang mawar memikat rama-rama bercengkrama.
Perempuan rela hati saat ia harus berbagi, ketika sang mawar pergi. Mekar mawar dicintai, merah mawar disayangi, terjaga jambangan kasih sejati. Perempuan kini mengerti walau sang bunga tak lagi ia miliki, namun hatinya tetap berseri, karena ia mengetahui dihatinya selalu ada kuntum bersemi.
(Jakarta, desember 2009...sebuah prosa liris untuk kasih yang bersemi di bulan desember)