17 September 2008

Cinta

Sebuah catatan buah perbincangan dengan putriku tercinta, diberanda Kartika Sari hari jum’at tanggal 12 september 2008. Kami berbincang sambil menikmati semangkuk mie kocok ditemani kerupuk aci yang renyah. Sengaja kami luangkan waktu untuk berbicara dari hati ke hati, adapun topik yang kami bahas adalah tentang cinta.

Waktu telah lama berlalu semenjak pertama kali aku mengganti popoknya, mengajarinya membaca di usia dua tahun, mengantar jemput sekolah dasarnya dengan sepeda motor honda –kendaraan pertama yang aku miliki -, dan menenangkannya ketika mendapat haid pertama di usia 10 tahun.

Sore ini, duduk tenang dihadapanku sesosok wanita dewasa menjelang dua puluh tiga tahun, dengan perawakan tinggi kurus, kulit hitam manis, muka tirus, hidung bangir, mata bulat dengan sorot yang tajam, dan rambut dikucir yang sengaja dibuat sedikit berantakan.

Cinta...cinta...cinta!!! Cinta itu misteri, kehadirannya seringkali tidak terduga. Cinta datang tanpa mengetuk pintu, dan berlalu tanpa pamit. Ada cinta yang dimaknai dengan dangkal bahkan cenderung memaksa. Bukanlah cinta kalau mengharuskan ada balasan, karena cinta adalah buah keikhlasan. Cinta itu memberi tanpa pamrih, menyentuh dasar kalbu dengan penuh ketulusan.

Bukanlah cinta kalau hanya bisa menerima, apalagi mengharuskan adanya pemenuhan keinginan diri. Sebenarnya siapakah yang kita cintai, diri sendiri atau kekasih tercinta? Kalau saja kita mau melihat lebih jauh ke dalam diri, ternyata yang kita cintai adalah nafsu dan keegoisan kita. Ketika kita kecewa dan marah karena cinta tak berbalas, ketika kita sakit hati karena cinta bertepuk sebelah tangan, sesungguhnya siapa yang kita cintai?

Cinta itu memaafkan, cinta itu memberi, cinta itu membahagiakan. Cinta menghadirkan semangat, cinta menghadirkan kekuatan, cinta menghadirkan penghormatan dan keluhuran budi. Cinta tumbuh subur dalam kesabaran. Cinta bukanlah pengorbanan karena cinta bukanlah keterpaksaan.

Tidaklah mudah untuk menghadirkan cinta yang hakiki, cinta yang mendamaikan, cinta yang menentramkan. Namun, percayalah ketika kita membangun cinta dengan landasan agama maka kita akan tahu makna cinta yang sesungguhnya.

Berangkat dari rasa cinta seorang ibu, aku mau putriku benar-benar tahu siapa sesungguhnya yang dia cintai. Biarlah hatinya belajar banyak tentang makna cinta, perlu waktu bagi dia untuk memahami langkah yang akan dia pilih. Tidaklah perlu kegagalanku terulang, ketika aku salah memaknai cinta.

Aku yakin putriku tidak akan pernah melupakan perbincangan sore ini, karena dalam dirinya telah tumbuh tanggung jawab untuk belajar dari kegagalan kedua orang tuanya dalam berumah tangga, namun tetap bisa menghadirkan cinta dalam bentuk lain...yaitu persahabatan....