28 Desember 2009

Bening

Aku bukanlah bening yang kau cari, katakan pada senja dimana aku harus berdiri? Dalam kegamangan harap, tertatih diri meniti langkah mencari matahari. Bahkan kepada senja aku tak sempat pamit, ketika kusadari - diri terjatuh dalam kelam-. Segenggam kerinduan kubawa keperaduan bersama senyum manis ke alam mimpi.

Lelah kucari tanpa pernah kutemui, sisa-sisa kebeningan yang pernah kau janjikan. Jangan pernah berharap aku melupakan janjimu, karena hati telah terantai oleh kata terikat oleh bahasa. Bukan aku mau menghakimi, bila hari ini tangan rapuhku meminta matahari, membawa kembali bening hati untukmu.

Mungkinkah beningmu telah berlalu, dibalik hasrat yang menggebu. Senja berakhir dengan senyum pahit dibekuan malam, tanpa nyanyian bulan, tanpa puisi bintang. Hanya langit yang menangis disertai lirih angin menggigit. Letih sudah tangisku menahan lara, belajar untuk menerima. Dimanakah bening hati melabuh diri?

(Jakarta desember 2009....sebuah prosa liris untuk bening yang tak pernah dapat kugapai)

Perempuan (dan) Jalanan

Jalanan mengajariku waspada
Berpacu dengan waktu yang tak tentu
Bertarung dengan emosi yang tak terkendali
Sebuah keputusan dalam keputusasaan

Hati yang tertantang gelisah
Gemuruh suara menanti kemenangan
Perlawanan dalam diam
Lelehan air mata untuk jiwa yang letih

Jalanan kembalikan kesadaran
Hidup penuh tikungan dan kelokan
Bukan seperti dunia yang kuinginkan
Perempuan sandarkan hidup di jalanan

(Jakarta, 19 Desember 2009...sepanjang perjalanan pantura kubiarkan jiwa letihku menangis)