Ya Ramadhan...
Kusambut hadirmu dengan jiwa yang bergetar
Penuh harap dan kecemasan yang berbaur dalam tetes-tetes kegelisahan
Aku takut tidak mampu menapaki hari-hari suci-Mu
Hingga sampai ke kolam kejernihan bulan-Mu
Diriku berbalut dosa...jiwaku penuh noda
Adakah air wudhu mampu menghapus kekotoran dan kehinaanku?
Hingga aku pantas untuk hadir dalam Ramadhan-Mu
Hatiku pilu...takutku menggunung ketika aku menyadari
Terlalu banyak waktu yang tersia-sia
Ya Ramadhan...
Adakah engkau menerima jiwa yang terlunta?
Aku ingin kembali kepada-Mu
Berharap kemurahan dihari-hari-Mu
Biarkan kegelisahan ini mendapat jawaban
Biarkan penderitaan ini berbuah kesabaran
Biarkan pengharapan ini menjadi kenyataan
Lapar dan dahaga akankah mampu membasuh kecewa?
Ruku dan sujud akankah mampu hapuskan resah?
Tasbih dan Tahmid...Dzikir dan Do’a akankan mampu hilangkan gelisah?
Lantunan ayat-ayat-Mu akankah mampu hilangkan derita?
Ya Ramadhan...
Aku hanya bisa berharap rahmat-Mu
Aku hanya bisa memohon ampunan-Mu
Aku hanya bisa meminta kemurahan-Mu
Di Ramadhan-Mu yang suci
Hanya kasih sayang-Mu yang mampu selamatkan hidupku
Jakarta, 22 Agustus 2009
28 Agustus 2009
27 Agustus 2009
Ramadhan-ku
Berdebar harap dalam curahan dzikir
Berkhusyu dalam ruku dan sujud
Mencari ketenangan jiwa dalam tadarus
Ya Ramadhan...hantarkan aku untuk meraih ridho-Mu
Menjaga tutur kata untuk tetap terjaga
Menjaga hati untuk tetap bertasbih
Menjaga tatapan untuk puasa dari dosa
Ya Ramadhan...hantarkan aku untuk meraih kasih-Mu
Jangan biarkan aku menyesali
Karena telah menyia-nyiakan Ramadhan-ku
Biarkan lirihku menjadi do’a, biarkan tangisanku menjadi sesal
Ya Ramadhan...hantarkan aku untuk meraih cinta-Mu
Jakarta, 27 Agustus 2009
Berkhusyu dalam ruku dan sujud
Mencari ketenangan jiwa dalam tadarus
Ya Ramadhan...hantarkan aku untuk meraih ridho-Mu
Menjaga tutur kata untuk tetap terjaga
Menjaga hati untuk tetap bertasbih
Menjaga tatapan untuk puasa dari dosa
Ya Ramadhan...hantarkan aku untuk meraih kasih-Mu
Jangan biarkan aku menyesali
Karena telah menyia-nyiakan Ramadhan-ku
Biarkan lirihku menjadi do’a, biarkan tangisanku menjadi sesal
Ya Ramadhan...hantarkan aku untuk meraih cinta-Mu
Jakarta, 27 Agustus 2009
10 Agustus 2009
Tak Gendong
Sahabat, siapakah saat ini yang tidak mengenal lagu mbah surip “tak gendong”....sebuah lagu dengan lirik yang sederhana, namun ketika kurenungkan dibalik kesederhanaan liriknya tersembunyi makna yang terasa menggelitik dan menggugat kehidupan yang kujalani.
“Tak gendong kemana-mana, tak gendong kemana-mana”....Tahukah sahabat, dalam menjalani kehidupan aku seringkali menggendong beban kemana-mana hal-hal yang menjadikan hidup berat karenanya. Beban yang seharusnya kutanggalkan dan kubuang, tetapi mengapa aku terlalu sayang untuk berpisah dari beban itu. Jadilah aku menggendongnya kemanapun aku pergi, sehingga kaki menjadi sulit melangkah, badan menjadi cepat lelah dan pikiran menjadi cepat kusut.
Beban itu berupa kemarahan, kedengkian, irihati, kecemasan, kebohongan, kekuatiran, dan ketamakan. Sesungguhnya aku telah berlaku tidak adil pada diri sendiri, karena memaksa diri menanggung beban yang bukan menjadi kewajibannya. Seorang sahabat mengatakan padaku, seandaikan kau tanggalkan beban itu maka kau bisa berlari dan melesat terbang.
Sahabat, lagu mbah surip yang sederhana itu membuat aku memahami, bagaimana seharusnya aku menjalani hidup. Cukuplah aku menggendong hal-hal yang aku perlukan saja, tidak ada lagi kemarahan, kesedihan, kekuatiran, sakit hati, kecemasan, serta beribu pikiran buruk lainnya. Benarlah, ketika beban itu aku buang, memang hidup terasa terang dan lapang. Cukuplah aku menggendong kasih dan sayang dalam hidupku..Insya Allah.
Jakarta, 10 Agustus 2009
“Tak gendong kemana-mana, tak gendong kemana-mana”....Tahukah sahabat, dalam menjalani kehidupan aku seringkali menggendong beban kemana-mana hal-hal yang menjadikan hidup berat karenanya. Beban yang seharusnya kutanggalkan dan kubuang, tetapi mengapa aku terlalu sayang untuk berpisah dari beban itu. Jadilah aku menggendongnya kemanapun aku pergi, sehingga kaki menjadi sulit melangkah, badan menjadi cepat lelah dan pikiran menjadi cepat kusut.
Beban itu berupa kemarahan, kedengkian, irihati, kecemasan, kebohongan, kekuatiran, dan ketamakan. Sesungguhnya aku telah berlaku tidak adil pada diri sendiri, karena memaksa diri menanggung beban yang bukan menjadi kewajibannya. Seorang sahabat mengatakan padaku, seandaikan kau tanggalkan beban itu maka kau bisa berlari dan melesat terbang.
Sahabat, lagu mbah surip yang sederhana itu membuat aku memahami, bagaimana seharusnya aku menjalani hidup. Cukuplah aku menggendong hal-hal yang aku perlukan saja, tidak ada lagi kemarahan, kesedihan, kekuatiran, sakit hati, kecemasan, serta beribu pikiran buruk lainnya. Benarlah, ketika beban itu aku buang, memang hidup terasa terang dan lapang. Cukuplah aku menggendong kasih dan sayang dalam hidupku..Insya Allah.
Jakarta, 10 Agustus 2009
06 Agustus 2009
De El
Ada magnit dalam kata sederhana
Yang dinanti dan ditunggu kehadirannya
Setiap orang merasa berhak mendapatkannya
Cenderung mengabaikan kewajiban yang terkandung didalamnya
Sering menjadi sumber perpecahan
Menimbulkan kecemburuan sekaligus keprihatinan
Demi perburuan memilih sasaran empuk
Agar pundi pundi lebih cepat menggelembung
Sungguh menyedihkan ketika kue de el diperebutkan
Oleh mereka yang tak pernah merasa cukup
Hingga tak lagi peduli
Ketika sebagian hanya menjadi penonton belaka
Jakarta, 6 Agustus 2009
Yang dinanti dan ditunggu kehadirannya
Setiap orang merasa berhak mendapatkannya
Cenderung mengabaikan kewajiban yang terkandung didalamnya
Sering menjadi sumber perpecahan
Menimbulkan kecemburuan sekaligus keprihatinan
Demi perburuan memilih sasaran empuk
Agar pundi pundi lebih cepat menggelembung
Sungguh menyedihkan ketika kue de el diperebutkan
Oleh mereka yang tak pernah merasa cukup
Hingga tak lagi peduli
Ketika sebagian hanya menjadi penonton belaka
Jakarta, 6 Agustus 2009
05 Agustus 2009
Karam
Badai kegelisahan hantamkan jiwa dalam karang kehancuran
Memecah kehormatan meluluh lantakan kepercayaan
Maafkan, jika hari ini aku kalah
Menyerah pada rengkuhan kebimbangan
Tak mampu melawan gelombang kemurkaan
Hingga harga diri karam dalam lautan kehidupan
Duduk termenung dibibir tebing kesunyian
Berharap terjangan taufan hempaskan keraguan
Biarkan sejenak, aku pamit pada cahaya bintang
Beri kesempatan diri menata hati mengasah jiwa
Merajut harga diri yang terkoyak
Hingga fajar pagi hadirkan kehangatan harapan
Jakarta, 4 Agustus 2009
Langganan:
Komentar (Atom)